Tunjangan Rumah DPRD Kota/Kabupaten: Pemborosan Anggaran yang Harus Dihentikan
Gelombang kritik terhadap tunjangan rumah bagi anggota DPRD kota dan kabupaten semakin deras. Publik menilai fasilitas ini sebagai bentuk pemborosan anggaran daerah yang tidak masuk akal, terutama di tengah ketimpangan ekonomi yang masih lebar.
Tunjangan Rumah DPRD: Sebuah Ketidakadilan
Tunjangan rumah yang diterima anggota DPRD kota dan kabupaten menjadi sorotan tajam. Aktivis mahasiswa, Asmudyanto, dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (4/9/2025), dengan tegas menyatakan bahwa tunjangan ini tidak relevan dan hanya membebani anggaran daerah.
“Tunjangan rumah itu wajar untuk anggota DPR RI atau DPRD provinsi yang memiliki mobilitas tinggi dan lingkup kerja yang luas. Tapi untuk DPRD kabupaten/kota, yang bekerja di wilayah tempat tinggalnya sendiri, ini sama sekali tidak masuk akal,” ujarnya.
Logika yang Tidak Tepat Sasaran
Asmudyanto menjelaskan bahwa logika dasar tunjangan rumah adalah untuk membantu pejabat yang harus tinggal jauh dari domisili asalnya karena tuntutan pekerjaan. Anggota DPRD kabupaten/kota, lanjutnya, tidak berada dalam kondisi tersebut. Mereka sudah memiliki rumah di daerah masing-masing, sehingga tunjangan yang diberikan hanyalah pemborosan yang dilegalkan atas nama regulasi.
Miliaran Rupiah untuk Kenyamanan Dewan
Besaran dana yang dialokasikan untuk tunjangan rumah DPRD kota dan kabupaten sangat mencengangkan. Setiap anggota DPRD bisa menerima puluhan juta rupiah per bulan hanya untuk tunjangan rumah. Jika dikalikan dengan jumlah anggota dan setahun penuh, nilainya mencapai miliaran rupiah. Dana sebesar ini, menurut Asmudyanto, seharusnya bisa dialihkan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
“Ini uang rakyat, bukan dana pribadi dewan. Menggunakannya untuk kenyamanan pribadi jelas bentuk penyalahgunaan yang dilegalkan,” tegasnya.
Ketimpangan Sosial yang Semakin Lebar
Asmudyanto mengingatkan bahwa masih banyak rakyat yang kesulitan untuk membeli rumah atau bahkan sekadar membayar kontrakan bulanan. Sementara itu, anggota DPRD justru dimanjakan dengan fasilitas hunian mewah yang ditanggung oleh APBD. Kondisi ini memperlebar jurang ketidakadilan sosial dan menciptakan kesan bahwa wakil rakyat lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan rakyat.
“Seolah-olah tanpa tunjangan rumah mereka tidak bisa bekerja, padahal faktanya mereka tinggal di rumahnya sendiri,” sindirnya.
Melanggar Prinsip Pengelolaan Keuangan Negara
Lebih lanjut, Asmudyanto menilai bahwa pemberian tunjangan rumah DPRD kabupaten/kota melanggar prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, yaitu efisien, efektif, dan memberikan manfaat publik. Ia menegaskan bahwa tidak ada urgensi, kepatutan, atau manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat dari tunjangan ini.
“Justru praktik ini semakin merusak citra DPRD yang sudah lama dinilai jauh dari rakyat,” katanya.
Desakan untuk Penghapusan Tunjangan dan Reformasi Regulasi
Gerakan mahasiswa mendesak DPRD kabupaten/kota untuk memberikan teladan hidup sederhana dan menolak tunjangan rumah. Hal ini dianggap sebagai langkah moral untuk mengembalikan kepercayaan publik. Asmudyanto juga mendesak pemerintah pusat untuk segera merevisi regulasi yang menjadi dasar pemberian tunjangan rumah.
Aturan seragam yang diterapkan pada semua tingkatan dewan dianggap tidak adil, karena kondisi DPRD kabupaten/kota jelas berbeda dengan DPRD provinsi maupun DPR RI. “Kalau tidak segera diubah, pemborosan akan terus berulang setiap tahun,” tegasnya.
Penghapusan Tunjangan: Langkah Tepat untuk Tata Kelola Keuangan Daerah
Asmudyanto menyimpulkan bahwa penghapusan permanen tunjangan rumah DPRD kabupaten/kota merupakan langkah tepat untuk memperbaiki tata kelola keuangan daerah. Rakyat membutuhkan dewan yang peduli, sederhana, dan benar-benar bekerja untuk kepentingan bersama, bukan dewan dengan fasilitas berlebihan.
Selain itu, lembaga legislatif dinilai sedang menghadapi defisit akuntabilitas yang serius, baik dalam pengelolaan keuangan maupun dalam penyaluran aspirasi rakyat, seperti yang disampaikan oleh ICW pada 4 September 2025.
Posting Komentar