Pengacara Desak Polri Selesaikan Kasus Laras Faizati Lewat Restorative Justice

Table of Contents

Pengacara Desak Polri Selesaikan Kasus Laras Faizati Lewat Restorative Justice: Enggak Ada Perkeruh Suasana


Kasus yang menjerat Laras Faizati Khairunnisa (LFK), seorang staf Majelis Antar-Parlemen ASEAN (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly/AIPA) Jakarta, sebagai tersangka penghasutan pembakaran Mabes Polri terus bergulir. Pihak keluarga dan kuasa hukum kini secara tegas mendesak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menyelesaikan perkara ini melalui pendekatan restorative justice (RJ), mengingat keyakinan kuat bahwa klien mereka tidak memiliki niat jahat dan unggahannya tidak menimbulkan dampak hukum.

Penetapan Laras Faizati sebagai tersangka atas tuduhan penghasutan untuk membakar Mabes Polri menjadi perhatian publik, terutama setelah munculnya permohonan penangguhan penahanan dan klaim dari pihak keluarga serta kuasa hukum. Mereka meyakini bahwa langkah restorative justice adalah solusi paling tepat untuk kasus ini, yang diharapkan dapat menghindari proses peradilan yang berlarut-larut.

Laras Faizati: Dari Staf AIPA Menjadi Tersangka Penghasutan

Laras Faizati Khairunnisa (LFK), yang dikenal sebagai staf di lembaga bergengsi Majelis Antar-Parlemen ASEAN (AIPA) Jakarta, kini menghadapi tuduhan serius. Ia ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan melakukan penghasutan untuk membakar Mabes Polri, sebuah tuduhan yang sontak mengejutkan banyak pihak, termasuk keluarga dan rekan kerjanya. Ibu dari Laras Faizati mengungkapkan harapannya agar putrinya dapat dibebaskan, menegaskan bahwa apa yang dilakukan Laras hanyalah bentuk ekspresi menyuarakan isi hatinya, bukan dengan maksud jahat atau merusak.

Penetapan Laras sebagai tersangka ini juga membawa konsekuensi terhadap karirnya; kontrak kerjanya sebagai staf di AIPA dilaporkan tidak dilanjutkan setelah ia terseret dalam kasus hukum ini. Situasi ini semakin memperkuat urgensi bagi keluarga dan tim kuasa hukum untuk mencari jalan keluar yang adil dan non-yudisial, salah satunya melalui mekanisme restorative justice yang menjadi fokus utama mereka.

Dorongan Kuat untuk Restorative Justice

Pihak keluarga Laras Faizati, didukung penuh oleh tim kuasa hukumnya, secara konsisten menyuarakan harapan agar kasus ini dapat diselesaikan melalui restorative justice. Konsep restorative justice, seperti yang diketahui, adalah penyelesaian suatu perkara di luar jalur pengadilan melalui dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, dan pihak-pihak terkait lainnya, dengan tujuan mencapai kesepakatan damai dan pemulihan keadaan.

Abdul Gafur Sangadji, kuasa hukum Laras Faizati, menyatakan dengan tegas bahwa restorative justice adalah langkah yang paling tepat untuk kasus ini. “Kalau menurut saya justru langkah restoratif justice itu adalah langkah yang paling tepat. Kenapa? Karena yang dijadikan sebagai dasar penetapan tersangka ini kan suatu perbuatan yang sama sekali perbuatan itu tidak terbukti. Dampaknya gitu,” kata Abdul Gafur kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta, pada Kamis (4/9/2025). Pernyataan ini menggarisbawahi keyakinan bahwa unsur-unsur pidana dari tuduhan penghasutan tidak terpenuhi secara substantif.

Tidak Ada Niat Jahat dan Unggahan yang Situasional

Salah satu poin krusial yang ditekankan oleh kuasa hukum adalah ketiadaan niat jahat dari Laras Faizati. Abdul Gafur Sangadji meyakini sepenuhnya bahwa kliennya tidak memiliki intensi buruk atas unggahan di media sosial yang menyinggung mengenai 'bakar gedung'. Menurutnya, unggahan Laras tersebut murni merupakan ekspresi kekecewaan dan keprihatinan atas meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojol yang tewas dilindas mobil rantis Brimob saat unjuk rasa terjadi. Kekecewaan ini, menurut BAP, menjadi latar belakang unggahan Laras.

“Jadi itu sangat situasional dan spontan. Enggak ada niat kayak ikut-ikutan memperkeruh suasana. Enggak ada niat jahat dari Mbak Laras memerintahkan orang supaya bakar gedung Mabes Polri, bakar gedung Bareskrim,” ujar Abdul Gafur menegaskan. Penjelasan ini berusaha meluruskan persepsi bahwa unggahan tersebut adalah bagian dari rencana jahat atau provokasi massal, melainkan curahan hati yang terjadi secara spontan.

Delik Penghasutan Dinilai Tidak Tepat Tanpa Dampak Hukum

Tim kuasa hukum juga mempertanyakan relevansi pasal penghasutan yang diterapkan pada Laras Faizati. Abdul Gafur Sangadji berpendapat bahwa pasal tersebut tidak tepat karena pihaknya meyakini tidak ada dampak hukum spesifik yang ditimbulkan dari unggahan kliennya. Argumentasi hukum ini menjadi landasan kuat bagi dorongan mereka agar Bareskrim Polri menerapkan restorative justice.

“Delik penghasutan itu akan terpenuhi unsur pidananya ketika antara apa yang dihasut oleh seseorang penghasut kepada terhasut, kemudian si terhasut ini harus melakukan suatu kegiatan berdasarkan hasutan itu yang menimbulkan dampak hukum,” jelas Abdul Gafur. Dengan kata lain, jika tidak ada pihak yang terhasut dan tidak ada tindakan yang timbul serta menimbulkan dampak hukum dari unggahan Laras, maka unsur pidana penghasutan tidak terpenuhi. “Sehingga perkara ini tidak perlu lagi lah kita naikkan ke pengadilan,” pungkasnya, memperkuat harapan agar kasus ini dapat diselesaikan di luar meja hijau.

Masa Depan Kasus Laras Faizati

Kasus Laras Faizati Khairunnisa menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam bermedia sosial dan interpretasi hukum terhadap ekspresi daring. Dengan segala argumen yang telah disampaikan oleh kuasa hukumnya, fokus kini tertuju pada respons Bareskrim Polri terkait permohonan restorative justice. Diharapkan, dengan pendekatan ini, kasus Laras Faizati dapat menemukan penyelesaian yang adil, mempertimbangkan niat asli, konteks, dan minimnya dampak nyata dari unggahannya, serta menghindari proses peradilan yang berpotensi memperkeruh suasana.

Posting Komentar