KPK Ungkap Korupsi di BPR Jepara: Uang Korupsi Dipakai Umrah, Kerugian Ratusan Miliar
Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap kasus korupsi yang melibatkan lembaga keuangan daerah. Kali ini, KPK menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pencairan kredit usaha di PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Jepara Artha, yang terjadi antara tahun 2022 hingga 2024. Modus operandi yang terungkap mencakup pencairan kredit fiktif dan penggunaan dana hasil korupsi untuk kepentingan pribadi, termasuk untuk menunaikan ibadah umrah.
Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, membeberkan kronologi kasus ini dalam konferensi pers yang digelar pada Kamis, 18 September 2025. Penjelasan Asep memberikan gambaran jelas mengenai bagaimana praktik korupsi ini dilakukan dan dampak kerugian yang ditimbulkannya. Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan yang ketat terhadap lembaga keuangan daerah untuk mencegah praktik korupsi serupa terulang.
Awal Mula Kasus: Penyertaan Modal dan Kebijakan Kredit
Kasus ini bermula ketika BPR Jepara Artha menerima penyertaan modal dari Pemerintah Kabupaten Jepara sebesar Rp 24 miliar. Pada tahun 2021, Jhendik Handoko (JH), selaku Direktur Utama BPR Jepara Artha, menerapkan kebijakan pemberian kredit jenis Kredit Usaha dengan sistem sindikasi. Tujuan dari kebijakan ini awalnya adalah untuk meningkatkan penyaluran kredit kepada pelaku usaha di Jepara.
Namun, dalam pelaksanaannya, kebijakan ini justru membuka celah bagi praktik korupsi. Sistem sindikasi yang diterapkan seharusnya melibatkan beberapa bank atau lembaga keuangan dalam pemberian kredit, namun kenyataannya malah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Pencairan Kredit yang Mencurigakan: Angka yang Mengkhawatirkan
Selama dua tahun berjalan, terdapat penambahan outstanding kredit usaha kepada dua grup debitur secara signifikan, mencapai sekitar Rp 130 miliar. Dana tersebut dicairkan melalui 26 debitur terafiliasi. Praktik ini menimbulkan kecurigaan karena jumlah kredit yang sangat besar disalurkan kepada debitur yang terafiliasi, yang diduga memiliki hubungan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi.
Performa atau kolektibilitas kredit tersebut kemudian memburuk hingga akhirnya gagal bayar atau macet. Kondisi ini tentu saja menurunkan kinerja BPR Jepara dan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan keuangan bank tersebut.
Keterlibatan Pihak Swasta: Peran Mohammad Ibrahim Al’Asyari
Dalam kasus ini, nama Mohammad Ibrahim Al’Asyari (MIA), Direktur PT Bumi Manfaat Gemilang, juga turut terseret. JH, selaku Direktur Utama BPR Jepara Artha, diduga bekerja sama dengan MIA untuk mencairkan kredit fiktif. Praktik ini melibatkan pencairan dana yang tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Baca Juga: Bupati Pati Sudewo Diperiksa KPK: 6,5 Jam Soal Uang, Bantah Suap
Sebagian dana yang dicairkan digunakan oleh manajemen BPR Jepara pada awal 2022 untuk memperbaiki performa kredit macet dengan membayar angsuran dan pelunasan. Sementara itu, sebagian lainnya diduga digunakan oleh MIA untuk kepentingan pribadi.
Modus Operandi: Kredit Fiktif dan Penggantian Agunan
Sebagai pengganti dana yang digunakan, JH menjanjikan agunan kredit yang telah dilunasi dengan dana kredit fiktif kepada MIA. BPR Jepara Artha kemudian mencairkan 40 kredit fiktif senilai total Rp 263,6 miliar kepada pihak-pihak yang identitasnya dipinjam MIA pada periode April 2022–Juli 2023. Modus operandi ini menunjukkan betapa terstruktur dan sistematisnya praktik korupsi yang terjadi.
Asep menyebut pencairan kredit fiktif ini dilakukan tanpa analisis yang sesuai dengan kondisi debitur sebenarnya. Hal ini jelas melanggar prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit dan membuka peluang terjadinya praktik korupsi. Akibatnya, negara mengalami kerugian finansial yang sangat besar.
Penggunaan Uang Korupsi untuk Umrah: Potret Buruk Moralitas
Salah satu aspek yang paling mencolok dari kasus ini adalah dugaan penggunaan uang hasil korupsi untuk menunaikan ibadah umrah. Hal ini tidak hanya menunjukkan pelanggaran hukum, tetapi juga potret buruk moralitas dan etika pejabat publik. Tindakan ini mencoreng nama baik lembaga keuangan dan merugikan kepercayaan masyarakat.
KPK saat ini terus mendalami kasus ini untuk mengungkap pihak-pihak lain yang terlibat dan memastikan semua aset negara yang hilang dapat dikembalikan. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi di sektor keuangan.
Dampak dan Tindak Lanjut KPK
Kasus korupsi di BPR Jepara Artha ini memberikan dampak signifikan terhadap keuangan daerah dan kepercayaan masyarakat. KPK berkomitmen untuk menindaklanjuti kasus ini secara serius, termasuk dengan melakukan penyitaan aset dan penuntutan hukum terhadap para tersangka.
KPK juga menekankan pentingnya pencegahan korupsi melalui perbaikan sistem dan peningkatan pengawasan di sektor keuangan daerah. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang dan memastikan pengelolaan keuangan daerah yang lebih transparan dan akuntabel.
Posting Komentar