Jurnalis: Bayar Privilege dengan Informasi Berfaedah untuk Publik Indonesia
Di tengah jurang lebar antara gaji pejabat negara dan upah minimum masyarakat di Indonesia, para jurnalis memegang peran krusial yang dituntut lebih dari sekadar pelaporan. Mereka memikul tanggung jawab untuk 'membayar' privilege akses informasi tak terbatas yang diberikan masyarakat luas, dengan kewajiban utama menyajikan informasi yang benar-benar bermanfaat dan mencerahkan publik.
Privilege Akses Tak Tertandingi dan Tanggung Jawab Moral
Jamalul Insan, seorang narasumber dalam pelatihan jurnalistik daring bertajuk Journalism Fellowship On CSR 2025 Batch II yang diselenggarakan pada Kamis (4/9) di Indonesia, menekankan pentingnya pemahaman akan 'privilege' yang melekat pada profesi jurnalis. Ia menjelaskan bahwa akses istimewa untuk mendapatkan informasi langsung dari sumber-sumber strategis seperti gubernur dan bupati, yang tidak dimiliki profesi lain, merupakan sebuah amanah. Berbeda dengan seorang direktur di Sidoarjo yang mungkin kesulitan bertemu bupati tanpa protokol ketat, wartawan memiliki keleluasaan untuk melakukan 'doorstop', bahkan hingga ke tingkat presiden. Sebagai imbalannya, para jurnalis wajib mengembalikan nilai privilege tersebut dalam bentuk informasi yang sangat dibutuhkan oleh publik.
Pelatihan yang merupakan hasil kolaborasi antara Tower Bersama Grup (TBIG) dan Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) ini juga menggarisbawahi peran fundamental jurnalisme. Menurut Jamalul, yang juga mantan anggota dewan pers periode 2019-2022, seorang jurnalis harus selalu bertanya pada diri sendiri setiap kali keluar rumah: 'Apa yang harus saya lakukan?' Pertanyaan ini menjadi pengingat akan tugas pokok untuk menyediakan informasi yang memungkinkan masyarakat mampu mengelola dan mengatur diri mereka sendiri.
Menjaga Integritas di Era Banjir Informasi
Menyoroti perkembangan terkini, Jamalul Insan, yang juga mantan pemimpin redaksi Sindonews dan MNC News, mengamati bahwa semakin banyak individu menganggap diri mereka sebagai reporter atau content producer. Fenomena ini sering kali berujung pada penyebaran peristiwa secara instan ke media sosial tanpa proses verifikasi dan pengolahan layaknya jurnalistik profesional. Situasi ini sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi palsu atau hoaks.
Jamalul menegaskan bahwa proses jurnalistik, terutama dalam penyebaran visual, harus senantiasa berpegang teguh pada kode etik jurnalistik. Ia memberikan contoh konkret mengenai larangan penyebaran visual sadis, yang diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) oleh KPI untuk televisi. Berbeda dengan media sosial yang mungkin lebih bebas, televisi memiliki batasan ketat, termasuk larangan menayangkan visual anak-anak dalam situasi berbahaya. Ini menunjukkan bagaimana kode etik menjadi pagar pelindung yang krusial dalam penyampaian informasi.
Etika Jurnalistik sebagai Pembeda Fundamental
Direktur GWPP, Nurcholis MA Basyari, mantan jurnalis di Media Indonesia, sependapat dengan Jamalul mengenai krusialnya etika. Menurutnya, etika bukan sekadar kemampuan membedakan benar dan salah, baik dan buruk, tetapi juga pemahaman mendalam akan alasan di balik sebuah tindakan. Inilah yang menjadi pembeda fundamental antara seorang wartawan profesional dan individu lain yang sekadar mengunggah konten.
Nurcholis menjelaskan bahwa wartawan, baik media cetak maupun elektronik, terikat pada sebelas pasal dalam kode etik jurnalistik. Lebih spesifik lagi, ada P3SPS untuk televisi dan Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) untuk media daring. Aturan-aturan ini menjadi pembeda utama yang membedakan wartawan dengan 'uploader' media sosial biasa. Ia menambahkan bahwa ketaatan pada identitas dan prinsip jurnalistik inilah yang akan membuat sebuah media tetap dirindukan dan mendapatkan simpati pembaca, seperti contoh Kompas yang tetap mempertahankan jati dirinya.
Ide sebagai Mata Uang Jurnalis
Narasumber lain, Frans Surdiasis, menekankan bahwa ide merupakan 'mata uang' utama bagi seorang jurnalis. Tanpa ide, seorang wartawan seolah tidak memiliki nilai tukar. Ide menjadi jaminan profesionalisme, dan proses generating story ideas merupakan aspek paling penting dalam seluruh kerja kewartawanan. Ia mencontohkan pentingnya cerita yang kuat dalam 'video storytelling', karena tanpa narasi yang 'powerful', tidak ada yang bisa dibagikan kepada publik.
Frans juga mengaitkan etika kewartawanan dengan penalaran logis (logical reasoning), yang merupakan cabang filsafat. Etika, menurutnya, adalah kemampuan berpikir yang mengarahkan pada kesimpulan tentang apa yang benar untuk dilakukan dan apa yang salah untuk dihindari. Kode etik jurnalistik sejatinya adalah hasil dari penalaran mendalam ini. Pertanyaan mengapa wartawan harus memperkenalkan diri atau menekankan akurasi adalah contoh bangunan berpikir yang kemudian dirumuskan dalam kode etik.
Lebih lanjut, Frans mengemukakan bahwa etika memiliki dua aspek: kemampuan mengenali yang baik dan benar, serta keberanian memilih yang baik dan benar, bukan yang buruk atau salah, meskipun lingkungan sekitar cenderung memilih sebaliknya. Jika media ikut larut dalam praktik buruk, maka pilar keempat penopang demokrasi Indonesia akan runtuh. Oleh karena itu, etika harus menjadi pondasi kokoh bagi kerja wartawan.
Sebanyak 13 wartawan terpilih dari seluruh Indonesia akan mengikuti kelas pelatihan ini sebanyak 12 kali selama periode September hingga Oktober 2025. Selain sesi teori, para peserta juga akan melakukan praktik sesuai materi yang telah diberikan, mencakup berbagai tema yang disiapkan oleh para narasumber.
Posting Komentar