Terkuak! Dugaan Korupsi Kuota Haji 2024, Eks Menag Dipanggil KPK: Temuan Pansus DPR
Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kini menjadi sorotan utama setelah menjalani pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan kasus korupsi dalam pengelolaan kuota haji khusus yang telah menimbulkan banyak pertanyaan publik.
Pemanggilan ini menandai kelanjutan serius dari berbagai kejanggalan serta pelanggaran yang sebelumnya telah dibongkar dan didokumentasikan secara rinci oleh Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Fokus Penyelidikan KPK dan Temuan Pansus
Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto secara terbuka menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi terkait kuota haji khusus ini memiliki potensi besar untuk ditingkatkan statusnya ke tahap penyidikan apabila bukti-bukti konkret dan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dinilai cukup kuat dan meyakinkan, sekaligus mengindikasikan bahwa praktik serupa disinyalir telah berlangsung pada periode-periode sebelum 2024.
Panitia Khusus (Pansus) DPR RI telah merampungkan investigasi mendalamnya, merilis daftar komprehensif dugaan kejanggalan serta pelanggaran serius dalam penyelenggaraan ibadah haji 2024, dan kini seluruh hasil kesimpulan serta rekomendasinya telah resmi diserahkan kepada KPK untuk ditindaklanjuti secara menyeluruh.
Rincian Pelanggaran dan Ketidakadilan
Alokasi Kuota dan Peran Ganda Kementerian Agama
Salah satu temuan paling mencolok dari Pansus adalah dugaan ketidakpatuhan dalam pembagian kuota haji tambahan tahun 1445 H/2024 M yang disinyalir tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang secara spesifik mengatur alokasi kuota haji khusus sebesar 8 persen dari total kuota nasional.
Pansus juga menyoroti peran ganda Kementerian Agama sebagai regulator dan operator dalam penyelenggaraan ibadah haji, serta pergeseran fundamental pendekatan pelayanan di Arab Saudi dari Government to Government menjadi Government to Business, yang keduanya berpotensi membuka celah penyalahgunaan wewenang dan menumpulkan akuntabilitas publik.
Kelemahan Sistem dan Distribusi Kuota
Ketidakpatuhan lain yang teridentifikasi mencakup pengajuan pencairan nilai manfaat oleh Dirjen PHU pada tanggal 10 Januari 2024, yang dilakukan sebelum terbitnya KMA Nomor 130 Tahun 2024 pada tanggal 15 Januari 2024, padahal KMA tersebut seharusnya menjadi dasar penghitungan kuota yang sah.
Dalam aspek distribusi kuota, ditemukan kelemahan seperti pengisian kuota haji reguler untuk pendamping yang bukan mahram, masalah persisten terkait 5.678 nomor porsi kuota 'batu' yang keberadaan jemaahnya tidak jelas, ketidaksinkronan regulasi internal Kemenag mengenai pemenuhan kuota haji khusus tambahan, serta kerentanan keamanan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dan Siskopatuh yang rawan intervensi akibat ketiadaan audit berkala dan banyaknya akses pihak ketiga.
Implikasi Ketidakadilan dan Pengawasan
Prosedur pengisian sisa kuota yang diatur dalam beberapa Keputusan Menteri Agama dinilai tidak mencerminkan keadilan, karena mengakibatkan 3.503 jemaah haji khusus dapat berangkat tanpa antre, mendaftar dan langsung berangkat pada tahun yang sama, menimbulkan ketidakadilan serius bagi ribuan jemaah dalam antrean panjang yang telah lama menanti.
Ketidakadilan juga mencolok dalam penggunaan nilai manfaat haji, di mana jemaah yang belum berhak berangkat justru menggunakan nilai manfaat tahun berjalan yang seharusnya diperuntukkan bagi jemaah dalam antrean, ditambah lagi dengan kondisi jemaah cadangan lunas tunda yang berjumlah 30 persen dari kuota nasional namun mengalami ketidakpastian keberangkatan akibat mekanisme penggabungan mahram, lansia, dan disabilitas, serta lemahnya pengawasan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama dan ketiadaan sanksi bagi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang tidak melapor, dan banyaknya ketidaksesuaian pelayanan di Armuzna.
Rekomendasi Mendesak untuk Perbaikan Tata Kelola Haji
Guna mengatasi permasalahan kompleks ini, Pansus DPR mengajukan lima rekomendasi strategis, termasuk kebutuhan mendesak untuk merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, agar regulasi tersebut lebih relevan dan responsif terhadap kondisi terkini di lapangan.
Mereka juga menekankan pentingnya sistem penetapan kuota haji, terutama untuk haji khusus, yang lebih terbuka dan akuntabel dengan dasar peraturan jelas serta informasi transparan kepada publik, penguatan peran kontrol negara dan lembaga pengawas internal, dan penempatan figur Menteri Agama di pemerintahan mendatang yang lebih cakap serta kompeten dalam mengoordinasikan, mengatur, dan mengelola penyelenggaraan ibadah haji secara menyeluruh demi pelayanan terbaik bagi jemaah.
Posting Komentar