Revisi UU Pemilu: Konstitusi Fondasi Utama, Melampaui Putusan MK

Table of Contents

Agun Gunandjar Tegaskan Konstitusi Harus Jadi Acuan Revisi UU Pemilu, Bukan Sekadar Putusan MK


Perdebatan intens seputar revisi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu) kembali mengemuka, memicu diskursus krusial mengenai landasan hukum tertinggi yang seharusnya menjadi acuan utama dalam penataan sistem demokrasi Indonesia. Esensi polemik ini berpusat pada pertanyaan fundamental: apakah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final dan mengikat, ataukah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai hukum dasar negara, yang harus menjadi kompas utama bagi pembuat kebijakan legislatif.

Supremasi Konstitusi sebagai Pilar Utama dalam Pembentukan Hukum Pemilu

Agun Gunandjar Sudarsa, Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI dari Fraksi Golkar, secara tegas menyatakan bahwa meskipun putusan MK patut dihormati, konstitusi adalah hukum tertinggi di negeri ini, menegaskan pula bahwa tidak ada lembaga negara yang bersifat "super body" atau memiliki kekuasaan absolut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Agun menekankan bahwa kewenangan penuh untuk merancang dan mengesahkan UU Pemilu secara eksklusif berada di tangan DPR bersama pemerintah, oleh karenanya proses revisi harus secara teguh berlandaskan UUD 1945 sambil mempertimbangkan relevansi putusan MK sebelumnya yang berkaitan dengan kepemiluan.

Desain Pemilu yang Memperkuat Sistem Presidensial dan Kedaulatan Rakyat

Ia melihat momentum revisi UU Pemilu ini sebagai kesempatan emas bagi DPR dan pemerintah untuk menyusun regulasi yang lebih utuh, komprehensif, dan kohesif, dengan menjadikan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta sistem pemerintahan presidensial sebagai inti acuannya yang tak tergoyahkan. Agun juga menyoroti urgensi untuk secara jelas membedakan mekanisme pemilu nasional dan daerah sesuai amanat Pasal 22E dan Pasal 18 UUD 1945, mengakui bahwa pemilihan kepala daerah memiliki kekhasan nilai-nilai lokal dan dinamika sosial yang unik sehingga tidak dapat disamakan sepenuhnya dengan pemilihan legislatif nasional.

Kritikan Tajam Terhadap Batasan Kewenangan dan Mekanisme Mahkamah Konstitusi

Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim MS, melayangkan kritik pedas terhadap Mahkamah Konstitusi yang dinilainya telah melampaui batas kewenangannya, beralih dari "judicial restraint" ke "judicial activism" dengan berani memasuki ranah pembentukan norma hukum yang seharusnya menjadi domain eksklusif legislatif. Abdul Hakim lebih lanjut menyoroti ketiadaan mekanisme penyeimbang yang memadai bagi putusan MK, sehingga ketika sembilan hakim memutuskan suatu perkara yang krusial, tidak ada otoritas yang secara efektif dapat mengoreksi atau mengimbangi keputusan mereka, menciptakan potensi kekosongan pengawasan yang berbahaya bagi prinsip demokrasi.

Implikasi Putusan Tanpa Partisipasi Publik dan Urgensi Pengawasan Eksternal MK

Keputusan MK terkait pemisahan jadwal Pemilu Nasional dan Daerah, menurut Hakim, diambil tanpa melibatkan diskusi yang memadai dengan para pemangku kepentingan kunci seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), DPR, maupun perwakilan masyarakat sipil yang terdampak langsung. Padahal, implikasi dari keputusan ini sangat luas, berpotensi menimbulkan kontradiksi dengan empat undang-undang kepemiluan yang masih berlaku, dan bahkan bisa menggeser masa jabatan legislatif daerah seperti DPRD dari lima menjadi tujuh tahun tanpa dasar yang jelas.

Dalam konteks ini, Abdul Hakim menegaskan perlunya kajian ulang terhadap dominasi Mahkamah Konstitusi dan mengusulkan pembentukan lembaga pembanding eksternal guna menjaga integritas dan kesehatan demokrasi, terutama saat terjadi pelanggaran etik di internal lembaga tersebut. Perdebatan ini menggarisbawahi urgensi penempatan UUD 1945 sebagai fondasi utama setiap pembaharuan hukum dan keseimbangan harmonis antara menghormati putusan lembaga peradilan serta memastikan kedaulatan legislatif demi masa depan demokrasi Indonesia yang tangguh dan adaptif.

Posting Komentar